Powered By Blogger

Saturday, August 7, 2021

Jiwa dan Raga

Ahh, sudah dua tahun berlalu sejak blog ini terakhir di-update. Banyak sekali hal yang telah terjadi, baik dari lingkup kehidupan pribadi saya hingga tingkat global (dunia). Pada Maret 2020, pandemi COVID-19 yang telah melanda dunia, mulai masuk Indonesia. Dampak pandemi tersebut terhadap sistem kesehatan dan ekonomi Indonesia sangat signifikan. Pada Agustus 2021 ini, pandemi masih berlangsung dan masih belum ada tanda akan segera selesai. Namun setidaknya, penelitian akan virus yang bersangkutan terus dilakukan dan sudah ada vaksin maupun obat yang diharapkan mampu memitigasi dampak penyakit ini. 

Saya sendiri, saat ini sedang bekerja. Di tengah pandemi ini, muncul fenomena WFH, alias work-from-home. Kerja dari rumah, suatu hal yang mungkin dilakukan berkat kemajuan teknologi. Pertemuan rapat digantikan dengan konferensi video, meeting internal departemen dilakukan via slack/discord/group WA, uang untuk biaya transportasi dialihkan menjadi uang untuk kuota internet dan tagihan listrik, segala jenis hubungan sosial menjadi LDR. Kembali lagi ke saya sendiri, saya memiliki jadwal kerja campuran, yaitu dalam lima hari kerja di periode satu minggu, ada beberapa hari saya tetap harus ke kantor, dengan protokol kesehatan, dan juga ada saat di mana saya bisa kerja dari rumah. Biasanya rasio WFO:WFH saya adalah 3:2 atau 4:1.  

Beberapa minggu terakhir, anjing peliharaan saya, sebut saja namanya Skubi, sedang sakit. Sudah pernah dibawa ke dokter beberapa bulan lalu, dan sempat membaik, namun kondisinya semakin memburuk akhir-akhir ini. Tidak nafsu makan, pengelihatan dan pendengerannya memburuk, seringkali keluar darah dari rahangnya. Skubi memang sudah berumur 14 tahun, dan bagi seekor anjing, merupakan usia yang sudah cukup tua. Wajar jika sudah Skubi mulai terkena penyakit-penyakit, dan kesulitan untuk pulih. 

Minggu ini, jatah WFO:WFH saya 4:1. Empat hari ke kantor, dari senin hingga kamis, mengakibatkan tubuh saya cukup kecapekan. Memang, teman-teman yang sudah merasakan mungkin akan setuju, bahwa WFO jauh lebih melelahkan daripada kerja di rumah. Bukan berarti di kantor itu jauh lebih sibuk, hanya saja saya harus menghabiskan sekitar dua jam untuk perjalanan pulang-pergi antara kantor dan di rumah. Alhasil, jika WFO saya harus bangun lebih pagi, dan meskipun kerjaan sudah selesai, masih perlu menyetir di tengah jalanan Jakarta yang menyiksa pikiran, sebelum saya sampai di rumah. Belum lagi, selama pandemi ini saya harus menggunakan masker selama berjam-jam dan pikiran dibebani kekhawatiran akan virus. Setiap pagi, sesaat sebelum saya berangkat, saya sekilas melihat sosok Skubi yang tertidur lelah. Setiap sore, sebelum saya mandi, saya melihat lagi sosok Skubi yang hanya tertidur. Saya tidak ada banyak kesempatan untuk merawat Skubi, dan seringkali sudah terlalu lelah untuk memikirkan dia, sehingga muncullah pandangan saya seperti pada paragraf sebelumnya.

Baru pada hari ini, hari di mana saya WFH, sehingga saya bisa tidur lebih lama pada malam sebelumnya, dan bangun pada jam 7 pagi dengan pikiran segar, saya menyadari apa yang terjadi. Dipenuhi oleh luapan memori, banjir emosi melanda sanubari saya. Melihat sosok skubi tertidur lelah, tidak bergerak, kecuali perutnya yang menandakan api kehidupan belum padam. Ada bercak darah di sekeliling tempat tidurnya. Saya pun refleks mendekati dia, mencoba membersihkan sisa-sisa darah, mengelap mukanya, mencoba menuntunnya untuk minum. Dia tidak mau minum, hanya sedikit. Menyaksikan peristiwa ini, banjir air mata tidak dapat saya bendung lagi. Skubi berumur 14 tahun, itu berarti lebih dari separuh hidup saya, saya selalu melihat sosoknya. Banyak hari saya habiskan mengajak dia jalan-jalan pagi atau sore, memberinya makan, melihat dia sibuk menggonggongi dan mengejar kucing atau tikus... dan pada masa ini, teman saya ini sedang dalam kondisi sekarat.

Saya benar-benar bingung pada saat itu. Tentu, saya berharap Skubi akan sembuh dan bisa terus hidup. Tapi melihat sosoknya yang sudah sulit bergerak, tidak bisa melihat, hilangnya nafsu makan, apa yang dia sendiri harapkan? Apakah dia ingin penderitaan ini untuk segera selesai saja? Saya juga bingung akan sikap saya beberapa hari terakhir, kenapa baru sekarang kesedihan ini datang sekaligus? Mungkinkah karena kemarin-kemarin saya sudah terlalu lelah? Jiwa saya jadi terpendam, dan saya bergerak dan beraktivitas, hanya mengikuti badan saja, seperti robot. Di sini saya jadi berpikir, betapa eratnya hubungan antara jiwa dan raga. Seperti istilah latin "mens sana in corpore sano", yaitu "di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat", saya baru menyadari, bahwa jika tubuh kita lelah, mental pun terpengaruh. Kita pun jadi seolah kehilangan identitas diri, memori dan perasaan yang membangun pribadi masing-masing.

Berjam-jam kemudian, saya sudah cukup tenang. Emosi yang tadi datang bertubi-tubi sudah pergi. Skubi masih tertidur lemas, perutnya mengembang mengempis, berjuang. Jiwa saya mengingatkan, untuk menyikapi hal ini dengan terus berdoa, agar Skubi mendapatkan hal yang ia inginkan. Jika memang seluruh jiwanya masih ingin hidup, semoga diberikan kekuatan. Jika memang ia ingin beristirahat, semoga Tuhan membimbing jiwanya menuju kedamaian dan ketenangan abadi. Perpisahan memang tidak menyenangkan, namun kita tidak punya pilihan selain tetap maju dalam  kehidupan ini.