Powered By Blogger

Tuesday, February 12, 2019

Mengupas Esai dari Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?

Tulisan ini merupakan ulasan dari esai https://pwi.or.id/index.php/berita-pwi/1117-nkri-bersyariah-atau-ruang-publik-yang-manusiawi .

Esai dari Denny JA kali ini memiliki bahasan utama mengenai urgensi membentuk NKRI bersyariah. Pada bagian awal esai Denny menjelaskan bagaimana bahasan mengenai NKRI bersyariah ini menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh maysarakat. Salah satu pejuang utama gagasan ini adalah Habib Rizieq, di mana beliau berulang kali menyerukan isu ini pada beberapa acara besar, seperti saat memulai aksi 212 dan pada reuni 212. Langsung saja, setelah memberikan pendahuluan singkat, Denny memberikan saran dan pandangannya mengenai isu tersebut.

Denny menjelaskan bahwa Habib Rizieq harus menyampaikan argumennya dengan parameter yang lebih terukur. Saran ini kemudian diperkuat dengan contoh lembaga  yang telah melakukan hal tersebut, yaitu lembaga Yayasan Islamicity Index. Lembaga ini ingin membentuk ruang publik sesuai dengan arahan kitab suci Quran. Pada bagian ini Denny berhasil menjelaskan apa yang dilakukan lembaga tersebut dengan bahasa yang cukup sederhana dan mudah diikuti oleh pembaca awam. Selain itu, dibahas pula beberapa fakta menarik dari hasil penelitian lembaga tersebut.

Menurut hasil penelitian lembaga tersebut, setelah menelaah berbagai data yang berhubungan dengan Islamicity index, ternyata ditemukan bahwa negara-negara dengan nilai indeks tertinggi adalah negara-negara yang mayoritas penduduknya merupakan non-Muslim. Bahkan, negara-negara mayoritas Muslim mendapat peringkat yang cukup rendah. Penting untuk diperhatikan bahwa indeks yang digunakan berfokus pada hubungan sosial di masyarakat saja, tidak memperhitungkan aspek hubungan individu dengan Tuhannya (seperti prinsip Tauhid dan akidah). Hal ini sedikit menjelaskan mengapa negara-negara mayoritas non-muslim dapat memperoleh nilai Islamicity Index yang tinggi.

Tetap saja, fakta ini menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial yang islami masih kurang diterapkan oleh negara mayoritas Muslim. Hal ini mengajak kita untuk mengevaluasi diri, manakah yang lebih penting? Sekedar label sebagai negara Islami ataukah praktek-praktek nilai Islami pada kehidupan sehari-hari? Mencoba membentuk NKRI bersyariah tanpa paramater yang terukur dapat berdampak negatif karena salah satunya kita akan kesulitan dalam menjawab pertanyaan di atas.

Pada bagian ini, Denny berhasil menunjukkan maksud sarannya terhadap seruan Habib Rizieq pada awal esai. Pertama, dengan adanya paramater-parameter yang dapat diukur tersebut, definisi NKRI bersyariah dapat dirancang dengan lebih jelas dan seobjektif mungkin. Selain itu, melalui riset terhadap negara-negara, sepertti yang dilaksanakan oleh Yayasan Islamicity Index, kita dapat melihat sudah seberapa dekat Indonesia dengan definisi NKRI bersyariah yang sesuai dengan parameter dan seberapa besar urgensi untuk melakukan perubahan, misalnya dengan membandingkan nilai indeks yang didapatkan oleh Indonesia dengan negara-negara lain.

Denny membawa kita untuk semakin fokus ke permasalahan apakah lebih penting label sebagai negara Islami atau penerapan dari nilai-nilai Islami itu sendiri dengan menyampaikan bahwa hasil riset Islamicity Index ini tidak jauh berbeda dengan hasil riset dari lembaga lain, yaitu UN Sustainable Development Solution Network (SDSN) melalui penelitian World Happiness Index. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemajuan sebuah bangsa dengan melihat kemampuan negara tersebut untuk membuat warga negaranya dapat menjalani kehidupan dengan bahagia. Lagi-lagi, jika tiap negara diperingkat berdasarkan nilai indeksnya, negara-negara barat mendominasi peringkat 10 besar, sedangkan negara yang mayoritasnya Muslim berada di level tengah.

Pada dasarnya, Islam, sebagaimana agama lain, berisikan nilai-nilai yang baik dan dapat dinikmati oleh semua manusia secara universal. Nilai-nilai yang universal ini juga merupakan nilai-nilai manusiawi yang harusnya coba digapai oleh tiap negara, tak terkecuali Indonesia.

Namun, mungkin yang menjadi permasalahan bagi penggagas NKRI bersyariah adalah, bagaimana dengan akidah Islam dalam ruang publik manusiawi itu? Baik dalam parameter yang ditentukan oleh yayasan Islamicity Index maupun SDSN, hak tiap individu untuk beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing merupakan salah satu hak asasi dasar yang memiliki signifikasi tinggi. Indonesia bahkan memberikan perhatian lebih ekstra melalui pancasila dengan membentuk kementrian agama secara khusus, sesuatu yang tidak dimiliki negara demokrasi yang lain.

Denny menutup esainya dengan menegaskan bahwa harusnya diskusi mengenai asas negara sudah memiliki jawaban yang jelas. Pancasila merupakan fondasi yang tepat untuk Indonesia, karena nilai-nilai yang tertanam pada Pancasila sudah cukup untuk mengantar Indonesia untuk mencapai ruang publik yang manusawi. Ada baiknya jika kita fokus ke permasalahan di bidang lain yang lebih mendesak, seperti revolusi industri keempat agar tidak tertinggal dari negara lain.

Akhir kata, saya merasa bahwa bahasan yang dibawa esai ini menarik. Memang, untuk saat ini tampaknya seruan NKRI bersyariah tidak memiliki urgensi yang tinggi, karena nilai-nilai Islami sudah terkandung di pancasila. Namun, jika terus diadakan penelitian dengan parameter yang terukur, seminimalnya dapat memberikan prespektif baru terhadap permasalahan ini.

No comments:

Post a Comment